"Tanpa
puisi, hidup bisa jadi sebuah kesalahan," aku mengatakannya begitu saja
kepadamu. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Aku duduk di meja besar
dengan tumpukan kertas menggunung di atasnya. Secangkir kopi yang kau
seduh pagi tadi telah dijoki. Kamu duduk di depanku, di samping jendela
dimana semburat mentari menerobos dari balik dedaunan di kebun belakang.
Sesekali kamu menyembulkan muka dari balik kanvas. Aku menulis puisi
untukmu, dan kamu melukis untukku. "Tanpa lukisan, hidup pastinya
membosankan," balasmu. Aku menatapmu. "Dan tanpamu, hidup adalah
kematian." Kamu tersipu. Duh Gusti...
Minggu, 13 Juli 2014
Jumat, 11 Juli 2014
DESTITUTIO
Di halaman 205 novel klasik itu, ia menemukan sepucuk surat pendek. Mungkin surat itu, seperti halnya buku klasik tadi, milik penulisnya. Tapi mungkin juga milik penerimanya.
"Seorang penulis adalah ringkasan dari pengalamannya. Dan pengalamanku selama ini cuma satu: aku menghabiskan imajinasiku padamu. Aku bukan penulis yang hebat. Belum kutulis apapun semenjak kita berhenti berbicara pagi itu. Kamu tahu, aku masih duduk di sana. Tak pernah beranjak, meski ruangan menjadi gelap. Kini, tak ada lagi jalan pulang. Atau pergi. Aku masih terduduk. Tanpa jembatan kata-kata yang menghubungkanku padamu. Aku tahu, kamu hanya butuh waktu. Tapi entah, sampai kapan."
Setiap kali membaca surat itu, ia selalu kehabisan kopi dan merasakan dahaga teramat sangat.
Minggu, 06 Juli 2014
MASBUK
Kamu
seperti pengantin kesunyian, Nun. Tapi aku tak bisa mengejamu
diam-diam. Hari sudah malam, dan bacaanku harus dikeraskan. Kita masih
punya kesempatan, sampai rakaat terakhir dipungkasi salam. Kamu hanya
perlu mengaminiku. Mari kelak kita akhiri ini dengan tadarus bersama,
seperti pernah kita lakukan pada Ramadhan tahun itu. Kita saling
membacakan ayat-ayat cinta yang sublim dan mendalam. Malaikat juga tahu,
aku sedang memanjangkan rakaat terakhir ini, untukmu. Segeralah masbuk,
Nun.
Yogyakarta, 4 Juli 2014
Senin, 30 Juni 2014
PUASA PUISI
puisiku adalah puasa
puasaku adalah puisi
dalam puasaku aku berpuisi
dalam puisiku aku berpuasa
puasa puisi, puisi puasa
puasa berbuka, puisi berprosa
kapan maghrib, nun?
yogya, 29 juni 2014
Minggu, 22 Juni 2014
TADARUS
Nun. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah bunyi paling indah di antara dua puluh delapan huruf Hijaiyah. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah piktogram untuk ular dan belut. Kamu seperti ular, karena mulutmu kadang berbisa. Kamu seperti belut, karena setelah satu dekade, masih juga sulit ditangkap. Dalam beberapa bahasa, kamu adalah lambang dari sifat feminin, 'Nun'. Dalam bahasa Arab, dirimu berarti ikan paus. Ah, aku sepertinya kini tahu, apa yang terjadi jika kamu sudah membuka mulut pausmu itu. Mengerikan, tapi aku tak gentar. Apalagi, kamu juga seperti perahu, 'Nun'. Dan dengan sebatang kayuh, aku ingin mengarungi samudera hidup ini bersamamu. Itu sebabnya aku tak pernah berhenti mendarasmu, Nun. Nuun waalqalami wamaa yasthuruun.
Sanur-Potorono, 20-22 Juni 2014
Kamis, 19 Juni 2014
SEDUH
rindu ini petang
selalu mengigaukan
malam yang panjang
agar kau mengenalku
bukan dengan ingatan yang gagu
seperti kau sering membuatku
termangu kemarin
cintaku bukan fiksi
seperti pagi yang sebentar
dan bertandang penuh gentar
ini cinta yang sungguh
tak pernah mencemaskan waktu
aku tahu, ini bukan cangkir pertamaku
dan kamu adalah kopi buleleng
yang harus diseduh
sedikit demi sedikit
lidahku dan lidahmu,
sudah sama-sama pahit
dan tak lagi percaya
pada gula yang legit
aku janji menyeduhnya
dengan seksama,
nun
tabanan-sanur, 19 juni 2014
Langganan:
Postingan (Atom)