Jumat, 16 Mei 2014

GIBRAN




secangkir kopi
kini telah pahit oleh waktu
dan lembaran syairku
hanya terusan dari ratapan Gibran
yang berlarat-larat itu
adakah sang kala terus berputar
sedang aku masih di Lebanon?

Adisucipto, 15 Mei 2014

Kamis, 15 Mei 2014

KEMARAU (2)




doa dan tasbih
mengiring kepergianmu ke pangkuannya
pada kemarau empat tahun lalu
mata air ini telah mengering
tak lagi sanggup menulis riwayatnya

Adisucipto, 15 Mei 2014

KEMARAU




Laut itu makin mengering, sejak kau dipersunting. Tak ada lagi sungai yang menyantuni. Ranting yang basah juga telah lama patah, sejak embun pagi tak pernah lagi jatuh ke tanah. Aku kini cuma seteguk air yang mulai habis menguap di jalan, tak mungkin menghapus dahagamu. Tapi oase lain mungkin cuma fatamorgana.

Adisucipto, 15 Mei 2014

KUPU-KUPU BULAKSUMUR


di rumah tua itu kita bertemu
dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu
kau ceraikan rambutmu
seperti merak indah merayu

aku tidak tahu, kaukah itu mutiara atau kupu-kupu
mutiara bersolek di balik cangkangnya yang keras
kupu-kupu berdandan di balik kepompongnya yang lembut
jika kau mutiara, asal kau tahu
aku hanya bisa menyelami air kata-kata
tak bisa menjemputmu ke dasar laut

tapi jika kau kupu-kupu,
aku bisa menanti ulat yang jahat
mendandani dirinya di balik kepompong, sepanjang hayat
kaukah itu, kupu-kupuku?

di rumah tua itu kita bertemu
dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu
setelah bertahun-tahun,
aku masih berharap kau adalah kupu-kupu
kaukah itu?

Bulaksumur B-2, 14 Mei 2014  19.11 WIB

Selasa, 13 Mei 2014

DERMAGA


Kau menyandar di punggungku, malam itu. Mukamu letih, punggungmu bungkuk. Bahu ini adalah dermagamu, yang telah menyaksikanmu datang dan pergi. Angin barat selalu membawamu menjauh, angin timur selalu membawamu kembali. Tapi bahu ini selalu di sini, menantimu.

Menyaksikanmu datang dan pergi, aku seperti membaca Terra Nostra. Sepertinya, memang dibutuhkan beberapa kehidupan untuk menyusun kehidupan pribadi seseorang. Dan seperti halnya Fuentes atau Mann mengakhiri novel-novelnya, baru pada fragmen akhir setiap orang akan menemukan bahwa masa lalu adalah sebuah keseluruhan dengan segenap kejernihannya.

Kepergianmu selalu menyisakan tangis kecil. Tapi kamu tak pernah tahu, karena suara ombak dan burung camar selalu menyamarkannya. Toh kamu akan kembali bersama angin timur bukan?

Bilakah angin tak berganti musim? Bilakah angin tak mengaturmu datang dan pergi? Bilakah kau tinggal seterusnya?


Bahu ini selalu di sini, menantimu melepas penat.

Senin, 12 Mei 2014

STASIUN


—untuk Ismail Marzuki

Kita segera tiba di stasiun terakhir
padahal aku tak ingin ini segera berakhir
Kau belum juga meminta namaku
aku masih sungkan meminta namamu
Kita hanya berbagi pandang
sejak kereta ini datang kemarin petang
Ah, aku tak mau ini berakhir di Gambir
seperti pertemuan kita yang terakhir

Matamu adalah suratan takdirku
telah menyanderaku sejak pertemuan itu
Tapi, Juwita, mengapa engkau banyak berdusta
belum sepatah kata sejak kita berjumpa
padahal, di situmatamu ada banyak tanya
Esok adalah malam Minggu
maukah gerangan engkau padaku?

Di Stasiun Tugu,
kemarin kita sama menunggu
tak ada lelaki mengantarmu
Apakah nanti akan ada yang menjemputmu
sehingga kau masih saja membisu?

Ini adalah kali kedua
Aku tak ingin ini berakhir di Gambir
Jika tak ada yang menjemputmu,
kan kuantarkan kamu pulang
Aku sudah letih bertualang

Yogyakarta, 11 Mei 2014 *Satu Abad Ismail Marzuki

Jumat, 09 Mei 2014

/11/ POESIKU


/11/ "Jika cantik itu pohon, maka kamu adalah hutan," demikian suatu kali ia berbisik kepada perempuan itu. Di bawah sinar bulan yang tak penuh, ia bisa melihat rona merah merekah di pipi perempuannya. 

"Jika aku hutan, kamu jadi apa?" perempuannya bertanya. 

"Aku ingin jadi pengusaha HPH!" 

Perempuannya terbahak. 

"Tapi aku tidak suka bedakmu yang mempur. Itu menyembunyikan kecantikanmu yang asli," ujar lelaki itu serius. "Bagi beberapa orang, bedak bisa membuat mereka terlihat lebih cantik. Tapi untukmu, itu membuatmu jadi terlihat palsu." 

Perempuan itu meninju bahunya. "Setelah membuatku terbang, kamu kini menjatuhkanku," protes perempuannya. 

"Kamu juga sering melakukannya padaku," balas lelaki itu. 

"Jadi ini ceritanya balas dendam nih?" 

Keduanya tertawa bersama. 

Dari balik pucuk cemara, bulan yang tak penuh mengintip malu-malu. Lapangan rumput itu mulai basah oleh embun. #poesiku