Setiap
kali berziarah dia akan memilih berdoa di pusara paling pojok dengan
sebuah batu besar dan tanah yang masih merah. Dia tak pernah
mempersoalkan pusara siapa yang didoakannya. Dengan begitu dia bisa
menemukan kekhusyukan tanpa disibukkan oleh ingatan-ingatan mengenai
siapa yang dikubur. Setiap kali menatap pusara itu dia akan dikepung
pertanyaan, manakah yang bisa menjelaskan makna pusara: kuburan atas
sesuatu yang pernah hidup, atau batas dimana sebuah kehidupan lain
sebenarnya baru saja dimulai?
Dia
tahu kalau dua-duanya bisa diterima. Tapi segera saja penerimaan ini
akan memunculkan pertanyaan lain: mana yang harus dikubur dan mana
yang baru saja dimulai. Pertanyaan ini membuatnya tahan berjam-jam di
pojok pekuburan.
Masa
lalu hampir tak memiliki batas dengan masa kini, sama seperti halnya
masa kini hampir tak berbatas dengan masa depan. Ini yang membuat
pertanyaan tadi jadi seperti labirin: berpintu tapi tak berujung.
Sejarah barangkali dibangun oleh kontinuitas dan diskontinuitas yang
ganjil. Saking ganjilnya keduanya bahkan hampir tak memiliki
perbedaan, laiknya kloning. Dia sendiri mempercayai diskontinuitas,
sama seperti kritik pedasnya terhadap para penghamba linieritas. Tapi
saat sampai di pekuburan itu dia tetap saja tak bisa memutuskan
apakah sejarah ini dibangun oleh kontinuitas atau diskontinuitas.
Kesulitan
terbesar untuk membedakan kontinuitas dan diskontinuitas adalah
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa diskontinuitas tak selalu
hadir dengan gegap gempita melainkan datang menyelinap diam-diam.
Batas antara masa lalu dengan masa kini, dan batas antara masa kini
dengan masa depan akhirnya tetap tak bertapal. Ini kian diperumit
oleh hadirnya legenda yang melampaui kematian. Siapa yang
sudah dikubur dan baru memulai kehidupan kian sumir. Sebab, menurut
beberapa orang, legenda justru baru memulai hidup sesaat setelah
kematiannya.
Seringkali
dia bertanya, apakah masa kini menghendaki masa lalu, atau masa depan
menghendaki masa kini? Jika dunia dibangun oleh diskontinuitas, apa
perlunya sesuatu yang lampau? Bukankah dengan membutuhkan sesuatu
yang lampau diskontinuitas sedang menyungkurkan dirinya pada
kontinuitas, sesuatu yang terus-menerus?!
Sebaliknya,
apakah ini sebuah kontinuitas ketika kita tiba-tiba dia berada di
sebuah persimpangan dan ingin berbelok pada sebuah jalan yang berbeda
dan belum pernah diketahui? Jalan itu memang masih tetap jalan
setapak dengan rerimbunan pohon dan perdu bercucuk, tapi ini juga
sebuah percecabangan yang berpilin-pilin dan mengulir, dimana
semuanya terlihat baru dan berbeda. Barangkali kebaruan itu mungkin
hanya imajinasi, tapi—minimal—yang jelas ini sebuah imajinasi
yang baru. Dan bukankah imajinasi itu mendahului realitas?! Tepatnya,
bukahkah kita berangkat memahami realitas itu dari imajinasi mengenai
realitas tadi terlebih dahulu?!
Akar
kebimbangannya sebenarnya adalah ketika dia bertemu dengan seseorang
yang tak pernah dibayangkan akan dipikirkannya melebihi tebaran huruf
dari buku-buku yang memadati kamarnya. Saat itu dia sedang didera
kehampaan dan berjalan menyusuri trotoar yang mengepulkan debu.
Trotoar yang setiap hari dilewatinya tiba-tiba saja menjadi istimewa.
Dia tiba-tiba menginginkan trotoar itu tak berujung, karena di
sepanjang trotoar itu dia bisa menyaksikan kembali tontonan dari masa
lalunya. Berbagai adegan dari bilik-bilik ingatannya terputar dalam
gerakan lambat, satu per satu, sehingga dia bisa melihat lebih rinci
semua kejadian.
Masa
lalu tak selalu sebuah aula besar dimana berbagai kejadian penting
pernah dipertontonkan. Masa lalu juga bisa hanya sebuah kamar kecil
yang pesing, lembab, dan menghimpit, dengan berbagai pentas tolol.
Masa lalu dalam kamar-kamar kecil yang sempit inilah yang sedang
dipertontonkan sepanjang trotoar. Berbagai hal remeh-temeh menyembur
satu per satu. Dan keajaiban tiba-tiba muncul dari sana. Sebuah wajah
menyembul dari salah satu bilik dan memberikan seutas senyum.
Ajaib,
karena senyum itu terlihat manis dan dilepas oleh seseorang yang
berasal dari bilik kecil yang sebelumnya tak diperhitungkan. Bilik
kecil yang menghimpit; dan di sana tersimpan seutas senyum manis.
“Apa saja yang telah kukerjakan selama ini,” tanyanya. Dia
seperti baru disentakkan dari tidur panjang.
Sejak
itulah dia selalu dikepung pertanyaan setiap kali berziarah: mana
yang harus dikubur dan mana yang sebenarnya baru lahir? Siapa yang
menentukan apa yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan,
ketika keajaiban ternyata bisa muncul dari sebuah kamar kecil yang
himpit? Aula besar masa lalu yang penuh tempik sorak ternyata bisa
hanya sebuah ruang kosong hampa.
Masa
lalu tidak hadir di waktu lampau, tetapi diciptakan di masa kini.
Atau, mencuri Borges, masa lampau tak lebih dari ingatan kini. Masa
kini sendiri adalah hal yang tak terdefinisi. Lightman menyebutnya
sebagai dunia tanpa ingatan. Sampai di sini, dia tak melanjutkan
kepenasaranannya. Dia akan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan
gontai meninggalkan pekuburan. Debu masih tetap mengepul dari trotoar
yang dilaluinya. Kali ini sebuah trotoar yang berujung. Dia masih
tetap tak tahu apakah ini kontinum atau diskontinum. #prosa04