/2/ Kamar itu kusam. Sebuah sketsa Monalisa menggantung di dindingnya.
Sejak berhenti menulis puisi, ia mengalihkan energinya untuk membuat
sketsa. Setiap hari ia membuat puluhan sketsa. Dengan obyek yang sama:
Monalisa. Ketika seorang kawannya berkunjung, bertahun kemudian, ia
mendapati bahwa di balik semua sketsa yang dibuat sang penyair, ia
selalu menuliskan sebait kalimat yang menurut sang kawan
adalah sebuah puisi. “Katanya kau berhenti menulis puisi, tapi semua
sketsamu ini masih kau tulisi puisi juga?” tanya kawannya. “Itu bukan
puisi,” sanggah sang penyair. “Tapi aku merasa ini adalah sebuah puisi.
Mungkin dalam bentuk yang lain,” kawannya mencoba menilai. “Itu sekadar
persembahan,” sang penyair kembali menyanggah. Di balik setiap sketsa
itu, ia memang menulis: “Untuk seseorang, yang diamnya adalah lukisan,
dan tuturnya adalah puisi…” #poesiku
Rabu, 30 April 2014
/1/ POESIKU
/1/
“Jika aku mati, di pusaraku sebaiknya ditulis: ‘Di sini beristirahat
seorang lelaki yang setia kepada cintanya’.” Kalimat itu tertulis dalam
buku lusuh milik seorang penyair. Tepatnya, bekas seorang penyair. Ia
berhenti menulis puisi semenjak ditinggal kekasihnya. Tak ada lagi yang
ingin diabadikannya, setelah itu. Ia tak ingin mengabadikan kemurungan
dan kerisauan. Pendek kata, semenjak hari yang buruk itu, ia sepenuhnya
berhenti menulis puisi. #poesiku
SURAT UNTUK P
Mojokuto, 1 September 1955
Di luar sana
senyap, tak lagi gaduh seperti seharian tadi. Satu dua oto masih
melintas dengan jeda yang kian panjang. Ini malam kedua di Mojokuto,
setelah 53 hari kemarin tersekap di ruang lain, terpencil di tepi hutan
Wanagalih.
Apakah aku harus mengatakan bahwa ini adalah
saat yang menyenangkan, di mana aku telah kembali ke Mojokuto, ke tanah
yang telah menjadi mimpi kebanyakan orang?
Hidup itu,
katanya, meminjam puisi Amir Hamzah, seperti bertukar tangkap dengan
lepas. Kita mendapatkan sesuatu dengan meninggalkan banyak hal lainnya;
mengambil dengan melepaskan.
Barangkali inilah bentuk
keseimbangan. Alam senantiasa mengatur dengan menciptakan
keseimbangan-keseimbangan yang kadang sulit dimengerti.
Aku bisa kembali menikmati tanah impian, menatap kabut di puncak
Kelud, dengan meninggalkan kenikmatan disapa anak-anak manis sekolah
rakyat Wanagalih yang aku terima tiap pagi. Aku bisa kembali
berjalan-jalan sepanjang trotoar di alun-alun kota dengan meninggalkan
hamparan kebun kacang dan tembakau sebuah tempat di bagian timur
Wanagalih. Aku mendapatkan lagi kelezatan makan pecel dan wedang jahe di
tepi jalan raya, dengan meninggalkan kelezatan pecel kelapa berbungkus
daun jati dan kesegaran air kelapa muda yang sering aku nikmati sembari
lesehan di tepi pematang di kampung sana. Aku bisa kembali menikmati
dendang radio bututku, dengan meninggalkan suara ketukan pintu dari
anak-anak kecil yang minta didongengi.
Jadi, apakah aku
harus mengatakan ini adalah saat yang menyenangkan? Atau sebaliknya,
apakah aku justru harus mengatakan ini adalah saat yang tak
menyenangkan?
Kehidupan ini seperti bertukar tangkap
dengan lepas, dan demikianlah adanya. Pertukaran dan pemilihan, itulah
hidup. Sepertinya, aku termasuk orang yang bisa menerima kenyataan
semacam itu. Aku patut bersedih atas semua hal yang pernah aku terima,
sebaliknya aku harus bersyukur atas setiap ganti yang aku dapatkan.
Aku
sedih, karena tak lagi bisa mendengar celoteh polos dan senyum seorang
gadis remaja yang manis di sana; tapi aku bersyukur karena bisa kembali
mendengar suara merdu dan menatap senyum lain yang lebih manis dari
seseorang yang dimiripi gadis itu, di sini… Ah, aku membayangkanmu
tersipu membaca bagian ini.
Jadi, apakah aku harus bersedih atau bergembira? Aku jadi menemukan
bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana hanya sedih dan gembira, karena
apa yang sedang aku rasakan (dan demikian juga sebelumnya) melampaui
semua definisi tadi, melampaui pembauran keduanya. Ini adalah hal yang
sulit untuk didefinisikan. Mungkin, demikianlah hidup.
...
Saat
aku menuliskan semua ini kamu mungkin telah lama lelap, bersembunyi di
balik selimutmu yang lembut. Barangkali kamu juga sedang bermimpi, dan
bersyukurlah karena kita masih sempat bermimpi, padahal tidak pernah
merencanakannya. Di tengah kepungan rutinitas dan kontrol waktu, mimpi
adalah kejutan yang berharga.
Aku senang jika kamu
bermimpi, dan masih sempat mencoba mengarang-ngarang “mimpi”. Aku
doakan, semoga malam ini kamu mimpi indah, dan semua mimpi yang kamu
karang dalam bilik bisa berujud, esok pagi. Tak ada yang lebih
menyenangkan, selain mendapatkan apa yang kita impikan.
Tapi, apakah benar setiap orang menginginkan setiap mimpinya terwujud?
Ada
kalanya kebanyakan kita berpikir sesuatu itu terasa lebih indah ketika
dia masih berada di alam yang mengambang. Sebab, kenyataan seringkali
berjarak jauh dengan angan yang pernah kita bangun. Sehingga, mimpi
selalu terasa lebih baik dari apa yang mewujud, dan karenanya tak setiap
orang berani mewujudkan impiannya. Tapi benarkah kenyataan selalu kalah
baik ketimbang mimpi? Atau, benarkah mimpi selalu lebih indah ketimbang
kenyataan?
Pernahkah kamu mendengar cerita apel merah?
“Aku
mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah
merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku
tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan
akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar
dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau?
Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel
itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.”
Barangkali
memang benar, mimpi lebih indah ketimbang kenyataan. Tapi, apakah
dengan begitu kita berhak mencampakkan kenyataan, menolaknya, atau
meminggirkannya sembari membuang muka?!
Kelezatan apel
hanya bisa dirasakan lewat pelepasan semua atribut kecantikan dalam
warna. Aku menyebutnya: bertukar mata dengan lidah. Dengan begitu kita
bisa merasakan kelezatan sebuah apel dengan utuh, tak hanya
sepotong-sepotong, tak sekadar merah marunnya warna.
Tapi,
hanya sedikit orang yang berani membayangkan apel merah, dan lebih
sedikit lagi yang berani menyentuh dan mengupasnya. Barangkali, ini pula
sebab kenapa beberapa orang memilih hidup tanpa pasangan, atau
menghindari untuk membangun sebuah hubungan yang mendalam. Mereka adalah
orang-orang yang diliputi ketakutan bahwa kenyataannya apel itu tak
semerah yang mereka bayangkan. Mereka ingin tetap menikmati keindahan
bersitatap dari jauh dan tak mau kehilangan semua keindahan estetik itu.
Mereka tak ingin menemukan kenyataan apel itu tak semerah yang mereka
bayangkan, atau mereka tak ingin keindahan yang menyatu dalam “warna”
itu pupus ketika disentuh, atau mereka tak ingin ketemu kenyataan bahwa
apel itu sesungguhnya tak bisa mereka miliki... Jika sudah demikian,
mereka akan bertahan dalam dunia yang mengambang: mimpi si apel merah...
Kalau
menceritakan kembali sirah apel merah, aku jadi suka ingat seseorang
yang kalau tersipu pipinya pasti memerah. Merah yang lain, karena tak
bersemu padam, melainkan merah berbinar. Hanya sedikit orang yang
memiliki keistimewaan semacam itu.
Perasaan itu seperti
sastra: tak jelas batas antara fakta dengan fiksi. Di balik unsur
puitiknya, terdapat banyak potret nyata. Di balik kelajakan dan
spontanitasnya, menyembul segurat mimpi yang dibangun panjang sekali.
Mana batas antara fakta dan fiksi tak jelas benar. Semuanya baur dan
bercampur, antara nalar dengan imajinasi.
Sedang apa
kamu saat ini? Barangkali kamu sudah sampai di dunia yang sangat jauh,
dunia sastra-perasaan, dimana fakta dan fiksi saling membaur dan
berbenturan. Nikmati saja. Semoga ceritanya menyenangkan.
Oya,
aku menerima pesanmu, bahwa dalam pemilihan umum tanggal 29 September
nanti kamu telah memutuskan akan mendukung partai yang kupilih. Aku
senang bukan karena pilihanmu sama denganku. Aku senang, karena
problematisasimu atas persoalan-persoalan politik di negeri kita tak
sama dengan kebanyakan orang. Kamu tahu, kebanyakan kita lebih
merisaukan soal-soal permukaan, yang gampang dilihat di atas ranjang,
dan enggan menyelinap agak lebih mendalam. Sebab, persoalan yang
sesungguhnya selalu tersembunyi di balik selimut, di bawah ranjang, dan
bahkan tersuruk di dapur. Aku senang karena kamu sangat jernih mengenai
soal itu. Dan aku mengatakan begitu, bukan karena pilihanmu sama
denganku.
Aih, kenapa kita jadi melibatkan politik dalam percakapan? Yang
jelas, aku sudah membawakanmu bibit jambu. Kamu bisa menanamnya di
halaman rumahmu yang teduh. Lusa, kutunggu kamu di pojokan jalan itu.
M
SURAT UNTUK CELINE
Celine,
Aku masih ingat bagaimana pertama kali jatuh
cinta padamu. Hari itu, aku sesungguhnya hanya ingin menggodamu. Kamu
tahu, caramu mengejekku, soal kemalasanku belajar bahasa, berhasil
menarik perhatianku. Menurutku, ejekan selalu lebih berhasil memberi
kesan daripada pujian. Dan kamu melakukannya dengan baik, hari itu,
meskipun kamu mungkin tak memaksudkannya begitu.
Aku tahu,
kamu memiliki hampir semua syarat menjadi seorang perempuan yang
menarik, jadi mungkin telah ada banyak lelaki yang sudah berusaha
meladenimu bercakap sebelum aku. Tentu saja, mungkin tak semuanya lelaki
pintar yang bijak dan benar-benar menyenangkan. Tapi, bahkan lelaki
paling bodoh dan brengsek sekalipun akan berusaha menjadi pintar, bijak
dan menyenangkan jika bercakap denganmu. Itu karena kamu bisa menyihir
mereka. Aku pikir, kamu mungkin sebaiknya harus berhati-hati dengan
sihir itu. Tongkat sihirmu bisa membuat apa yang kamu dengar dan kamu
lihat kemudian jadi hanya berisi apa yang kamu inginkan saja. Dengan
begitu, kamu tak pernah benar-benar melihat mereka yang sebenarnya.
Tapi, bukan itu yang ingin kusampaikan dalam surat ini. Aku benar-benar
menikmati percakapan awal itu dan tak ingin berhenti meladenimu. Itu
saja.
Bualanmu, soal pasangan tua yang makin lama makin
kehilangan pendengarannya, selalu membuatku tergelak jika mengingatnya.
Kamu bilang, semakin tua maka pria akan semakin kehilangan pendengaran
terhadap suara-suara bernada tinggi, sementara perempuan akan semakin
kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada rendah. Jadi, semua
pasangan tua yang sedang bercakap sebenarnya tak lain sedang berusaha
saling meniadakan, karena mereka sesungguhnya tak lagi saling
mendengarkan. Itu, kamu bilang, adalah cara alam agar setiap pasangan
bisa menjadi tua bersama-sama tanpa saling membunuh. Ha ha ha, aku
sungguh tergelak. Imajinasi yang jenaka.
Lalu tiba-tiba
kita harus berpisah di stasiun itu. Entah bagaimana, meskipun grogi, aku
jadi memiliki keberanian untuk mengatakan hal konyol itu padamu: “Hei,
coba bayangkan begini, kamu melompat beberapa tahun ke depan, mungkin
sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dimana waktu itu kamu sudah
menikah. Hanya saja, entah kenapa kamu tak merasa bahagia dengan
pernikahanmu. Lalu, kamu mungkin mulai menyalahkan suamimu, dan pada
saat yang bersamaan mencoba mengingat-ingat kembali masa lalu, tentang
orang-orang yang pernah kamu temui, dan berpikir apa yang akan terjadi
seandainya dirimu memilih salah satu di antara mereka? Dan aku adalah
salah satu di antara orang-orang itu.”
Ah, tentu saja, aku harus membujukmu waktu itu. Kita baru saling
kenal, baru saja memulai sebuah percakapan yang bertenaga, dan sebelum
sebuah tarikan nafas habis tiba-tiba seperti dipaksa untuk menyudahinya.
Aku masih ingat kata-kata terbaik yang bisa kuucapkan waktu itu, agar
kita tak segera berpisah: “Jadi, anggap ini sebagai perjalanan waktu
dari masa itu ke masa kini, untuk mengetahui apa yang mungkin telah kamu
lewatkan hari ini. Ini akan menjadi sesuatu yang berarti bagimu kelak,
untuk meyakinkan bahwa kamu tak pernah melewatkan apapun. Sebab, aku
mungkin sama pecundangnya seperti suamimu waktu itu, hanya lelaki yang
membosankan, tak punya motivasi, sehingga kamu akan merasa lebih baik
karenanya, karena telah membuat keputusan yang tepat dengan tak
memilihku.”
Ya, secara umum itu memang bualan. Mungkin,
aku sebenarnya hanya ingin menggodamu. Tapi entahlah. Kalimat-kalimat
itu meluncur begitu saja. Dan meskipun aku tak tahu persis apa yang akan
terjadi setelah itu, dan juga setelah ini, aku tahu bahwa tak
mengatakannya akan menjadi sebuah kesalahan besar. Aku tak bisa
membayangkan hidup dengan menanggung kesalahan, dan kemudian penyesalan,
semacam itu.
Aku tahu, menulis surat ini merupakan
pelanggaran terhadap janji kita pagi itu. Tapi menunggu enam bulan tanpa
melakukan apapun bisa membunuhku diam-diam. Ini tak semudah seperti
dalam film-film yang pernah kutonton, atau seperti dalam novel-novel
yang pernah kubaca. Maafkan aku melanggar janji itu dengan menyuratimu.
Celine,
malam yang kita habiskan dengan percakapan itu adalah malam yang sangat
menguras perasaanku. Aku merasa sepertinya telah menghabiskan seluruh
energi masa mudaku bersamamu, malam itu. Tidak, itu tidak konyol. Kadang
orang mengalaminya. Dan aku telah mengalaminya. Ada sejumlah hal dalam
hidup yang tak datang dua kali. Dan aku merasa malam itu adalah salah
satunya, bagi hidupku.
Ya, ya, ya, aku tahu kamu akan
segera mengejek, dengan gaya aristokratmu yang khas Eropa, bahwa kamu
pernah mengalaminya beberapa kali dengan beberapa orang. Ah, jahatnya
kamu. Tapi itu bukan masalahku. Pada kenyataannya, aku memang hanya
mengalaminya denganmu.
Tentu saja itu membuatku jadi tak punya pembanding. Tapi apa masalahnya dengan itu?
Ada
banyak orang selama hidupnya tak pernah bepergian kemana-kemana. Mereka
menghabiskan hidupnya di kampung halaman tempat mereka lahir,
mencintainya dengan tanpa berpikir bahwa hidup mereka mungkin akan lebih
bahagia jika dihabiskan di tempat lain. Namun, juga ada banyak orang
yang pernah bepergian kesana kemari, berkeliling dunia. Keduanya tak
menunjukkan apapun. Mencintai tanah kelahiranmu, tanpa dan/atau sembari
tak kehilangan imajinasi mengenai tempat yang lain—ya, meski sekadar
imajinasi—tak lebih memprihatinkan daripada orang yang sudah bepergian
kemanapun tapi tak pernah benar-benar mencintai sebuah tempat sebagai
rumahnya. Rumah yang bisa memulihkan tenaga, rumah yang bisa
menyembuhkan luka-luka, dan rumah yang bisa sekaligus membuatmu tertawa
dan menangis. Rumah yang selalu menyediakanmu pelukan dan tepukan di
pundak.
Aku suka bepergian, tapi aku bukan pelancong. Kamu
tahu persis itu. Hal yang membuatku jadi hampir benci pada seorang
penyair yang dulu telah memperkenalkanku pada Sartre adalah karena
kemudian aku mendapati bahwa dirinya adalah seorang flaneur,
sang pengelana, sonder menemu, sonder mendarat, dimana ia me-raja-kan
kenikmatan mengamati. Aku menganggap itu sebagai benar-benar produk gestabliseerde burgers, the leisure class. Penyair yang demikian tak pernah benar-benar berposisi, karena setiap waktu ia selalu akan bisa menyangkal posisinya.
Tentu
saja, kamu akan mudah menuduhku konservatif, sama seperti kamu mengira
bahwa aku mengejarmu hanya karena menganggapmu eksotik, karena dirimu
adalah perempuan Perancis yang bawel namun jenaka. Tapi, aku memang
selalu mencoba teguh pada prinsip-prinsip yang kuyakini, yang selalu
akan membawaku pada posisi-posisi yang tegas dengan pembelaan yang juga
verbal. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa jadi politisi atau
jurnalis, seperti kamu bilang. Dan kenyataannya memang begitu. Aku tak
gampang mengalihkan perhatian dan mengubah pilihan. Itu tak selalu
buruk, meski juga tak selalu baik.
Ya, aku tak bisa menjadi flaneur.
Mungkin aku lebih nyaman menjadi semacam posisi William Faulkner ketika
dalam sebuah wawancara ia mengatakan bahwa jawaban atas suatu
pertanyaan dapat berubah manakala pertanyaan yang sama ditanyakan
keesokan harinya. Setiap penyair akan terus memperbarui puisinya setiap
kali mereka akan menerbitkan ulang karyanya. Tapi itupun tak bisa
berlaku untuk semua hal, terutama untuk menjadi prinsip dalam membangun
relasi. Menurutku, kita hanya bisa mengejar ufuk kemungkinan dalam soal
karir, tapi tidak pada hal memilih pasangan. Barangkali nasib kita
mungkin akan berakhir seperti puisinya Eliot, “The Waste Land”.
Eliot harus merelakan banyak bagian dari puisinya terpenggal, yang
membuat hatinya terluka, namun orang-orang malah memujanya sebagai
mahakarya. Kadang, begitulah hidup. Bagaimana kita akan menilainya?
Hidup yang kejam? Atau hidup yang misterius?
Tahukah kamu,
ketika kita berpisah pagi itu, yang menyudahi percakapan-percakapan
yang membuatku tumbuh, aku selalu teringat pada puisi seorang dramawan
Indonesia yang pernah menggelandang di New York, “kamu bagaikan buku
yang tak pernah tamat aku baca.” Dan aku bisa mati diam-diam untuk
menunggu terlalu lama bagian lain yang sebelum selesai kubaca itu.
Aku
duduk di bandara, pagi itu, membaca majalah lama, menikmati secangkir
kopi sembari bersedih… karena kamu tak turut denganku. Seperti kubilang
malam itu, aku akan memilih menikahimu, meskipun kamu ternyata adalah
monster yang sanggup membunuhku, daripada memilih tak pernah ketemu lagi
denganmu.
Ya, kamu adalah perempuan Perancis yang tinggi hati. Aku tahu itu.
Bahkan, ketika kita berpisah pagi itupun, kamu masih bisa bilang bahwa
kamu mungkin akan turun di Salsburg bersama dengan pria lain. Ah,
Celine… Apa kamu menganggapku hanya pria Amerika bodoh yang hinggap
sejenak dalam hidupmu?! Tapi aku tahu kamu hanya berkelakar pagi itu,
mungkin untuk melemaskan perasaan yang mulai mengetat. Aku harap begitu.
Pertemuan
kita adalah irisan yang agak ganjil. Aku terbang melintasi Atlantik
untuk bertemu Lisa, pacarku, di Madrid. Tapi perjalanan panjang itu
berakhir dengan penegasan bahwa aku tak mungkin bersamanya lagi. Sebuah
penegasan yang mahal, karena seluruh tabunganku habis untuk membiayai
perjalanan brengsek itu. Sementara kamu baru berpisah enam bulan dengan
pasangan yang membuatmu pernah sangat terobsesi, sehingga ketika kamu
berpisah darinya kamu ingin membunuhnya, yang membuatmu berurusan dengan
psikiater dungu. Ah, muskil sekali ya hidup ini. Kita dipertemukan
sebagai dua orang yang baru saja lepas dari hal-hal buruk, yang membuat
masing-masing kita nampak sebagai orang aneh.
Tapi, sejak
bercakap denganmu, aku berpikir bahwa perjalanan mahalku bukanlah untuk
mendapatkan ketegasan soal relasiku dengan Lisa, melainkan perjalanan
untuk menemukanmu. Sampiran-sampiran hidup macam itu kadang melelahkan,
kupikir, karena kita tak pernah tahu dimana ujungnya, dan bahkan kita
tak pernah tahu apakah sampiran-sampiran itu berkesudahan.
Memikirkan
itu semua mungkin akan membuatku gila. Maka, aku jatuh cinta padamu,
hari itu, karena kita bersepakat membuat segalanya jadi sederhana. Ya,
sebenarnya ke-sederhana-an kita memang berbeda. Kamu berpikir rumit,
namun memutuskan segalanya dengan cara sederhana. Sementara, aku
berpikir sederhana, namun seringkali memutuskan segalanya dengan cara
yang rumit. Satu hal yang jelas, aku memang pernah meyakini cinta yang
lain, namun tak pernah seyakin kepadamu.
Aku tidak tahu
apakah surat ini akan benar-benar sampai kepadamu. Kita tak bertukar
nomor telepon dan alamat pagi itu. Aku juga tak pernah tahu nama
belakangmu. Ya, Tuhan, kenapa kita membuat pilihan gila macam itu?
Surat
ini kualamatkan ke kampusmu, sembari berharap ada seseorang yang cukup
baik dan berusaha untuk membantu mencarikan dirimu. Ya, Tuhan, ini
benar-benar gila. Dan aku akan menyesali jika tak pernah melakukan hal
gila macam ini.
Sepertinya, aku sungguh tergila-gila padamu, Perempuan bawel yang jenaka. Aku sungguh-sungguh tergila padamu…
Jesse Wallace
SURAT UNTUK SAMANTHA
Samantha,
Aku masih terkejut dengan
hubungan kita. Dan percakapan terakhir kita memang cukup sulit. Kamu
tahu, proses perpisahanku dengan Catherine tak akan sederhana. Apalagi,
selama ini aku sengaja telah membuatnya terkatung-katung. Dan hubungan
kita juga tak akan mudah. Padamulanya akan selalu begitu. Ini adalah
irisan-irisan yang sulit. Dan omongan-omonganmu pagi itu membuatku
kalang kabut.
Tapi, setelah itu, aku pikir kita
bisa memulainya lebih pelan. Idemu untuk menyusun dan menerbitkan
surat-suratku sungguh mengejutkanku. Aku sangat senang dengan ide itu.
Ah, kamu tahu, aku diam-diam mengagumimu. Aku merasa seperti baru bangun
tidur dan ketemu pagi yang cerah. Sampai kemudian kamu melibatkan Alan
Watts dalam percakapan kita. Sungguh, itu tak membuatku nyaman. Aku
sangat cemburu, Samantha. Pagi itu seperti menghendakiku pergi.
Apalagi,
setelah itu kamu tiba-tiba menghilang. Adakah yang lebih baik dari rasa
panik, kalut, dan kalang kabut yang datang sekaligus?
Tapi
kamu ternyata hanya pergi sebentar. Itu cukup menghiburku. Pada
mulanya. Masalahnya, ini menjadi makin tak sederhana. Selain padaku,
kamu juga mengaku jatuh cinta pada yang lain. Samy, kadang aku berpikir,
kejutan apalagi yang sedang kamu siapkan setelah ini?
Kamu mengatakan bahwa cintamu pada yang lain tak mengubah cintamu
padaku. Setiap orang adalah spesial. Aku ingat, Céline juga pernah
mengucapkannya kepada Jesse. “I feel I was never able to forget anyone
I’ve been with because each person has their own specific qualities. You
can never replace anyone.” Aku paham soal itu. Tapi caramu
mengucapkannya sungguh tak menyenangkan, sementara kamu ingin aku
menimpalinya dengan cara yang menenteramkanmu. Kamu seperti memberiku
sarapan daun pepaya pagi itu, dan kamu ingin aku mengunyahnya seperti
gudeg nangka. Ah, itu dua masakan yang berbeda, Sayang!
Bagiku,
semua ini seperti film dalam film. Tapi kali ini Spike Jonze tak akan
menulis naskahnya sendirian. Barangkali, ia harus belajar kepada
Linklater, yang memberi tempat pada Julie dan Ethan untuk ikut
mendiskusikan naskahnya.
Jadi, aku kira, cerita
ini tak akan pernah berakhir di atap gedung. Jika kamu membaca pesan
ini, aku ingin kamu mengaktifkan lagi programmu. Kamu bukan OS, dan aku
bukan pengalaman. Hidup tak seperti algoritma, juga tak sepenuhnya
semacam puisi.
Sampai kamu membaca pesan ini, aku
akan menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang belum sempat kuselesaikan
semenjak kamu menyita perhatianku.
Maafkan aku, atas reaksiku pagi itu. Itu menjadi pagi yang ingin selalu kuulang kembali.
Theodore Twombly
ENTAHLAH
Sehabis sholat tadi, aku mengaji lagi. Ya, Tuhan, aku kemarin-kemarin
menganggap-Mu tiada. Tepatnya, aku meniadakanmu. Aku memang tidak
menjadi atheis kemarin, karena seseorang tak perlu menjadi atheis untuk
meniadakan-Mu. Aku masih sholat kemarin-kemarin, tapi sholat juga tak
menjamin keberadaan-Mu.
Aku pikir, memang ada beda antara "ada" dan "mengada". Kau kemarin mungkin ada, tapi tak mengada bagiku. Betapa rumitnya hidup yang Kau ciptakan.
Untunglah, kemarin aku membaca lagi Kundera. The Planet of Inexperience.
Hidup adalah sebuah ketakberpengalamanan. Justru di situlah martabat
manusia: ketakberpengalamanan. Kita lahir tanpa pernah punya pengalaman
menjadi hidup sebelumnya. Kita menjadi dewasa tanpa pernah tahu apakah
dewasa itu. Seorang tua adalah kanak-kanak dalam masa tua mereka. Dan
memang seperti itulah hidup. Aku menjadi tahu bahwa hidup mirip sebuah
buku: tanya dan jawab hadir secara bergantian. Tak ada pertanyaan yang
tak ada jawabannya. Meskipun, jawaban itu berada dalam bab yang berbeda
dari yang kita baca hari ini. Buku menghadirkan tanya dan jawab
sekaligus, jika kita tuntas membacanya.
Betapa tak menariknya hidup jika kita telah mengetahui segalanya,
sama tak menariknya dengan jika kita tak mengetahui apapun dalam hidup.
Karena itu hidup harus mirip sebuah buku: kita hanya tahu apa yang sudah
kita baca sembari menebal-nebak kelanjutannya. Kita tak tahu semuanya,
tapi kita juga tidak tak-tahu apapun.
Entahlah... #prosa10
BERPIKIR
Aku
harus berpikir berkali-kali untuk mengucapkan sepatah kata. Dan kamu
harus berpikir dua kali untuk menjawabnya. Sering kali perselisihan
pandang muncul dalam kediaman untuk berpikir itu.
Aku
sudah duduk di kursi ini dua jam. Dan kamu masih memain-mainkan
jemarimu, sambil kadang-kadang beranjak ke dapur atau kamar. Ketika
kutandaskan teh dalam cangkir, jam berdentang sembilan kali. Aku
harus pulang.
Ingin
kuajak kamu makan malam di alun-alun sambil merasakan embusan angin
malam. Aku harus berpikir berkali-kali untuk mengajakmu. Dan kamu
harus berpikir dua kali untuk menjawabnya. Dan akhirnya kita tidak
makan malam. #prosa09
Langganan:
Postingan (Atom)