Jumat, 09 Mei 2014
SURAT UNTUK PUISI
Puisi, aku berdoa, semoga harimu selalu penuh senyum, agar setiap orang yang berada di dekatmu merasakan sejuknya bermandikan cahaya yang kau pancarkan―seseorang yang tuturnya adalah puisi dan diamnya adalah lukisan.
Aku takkan pernah berhenti menyanjungmu, Puisi, karena setiap yang kukatakan tentangmu bukanlah sanjungan, melainkan sekadar gambar dari apa yang kulihat, dan rasa yang kukudap. Aku percaya, Tuhan telah memberiku mata dan rasa yang benar...
Kadang aku berdoa agar segera dibangunkan dari mimpi ini. Tapi segera kusadar kalau kamu bukanlah mimpi, Puisi. Kamu ada dan memang demikian adanya. Yang bisa kulakukan hanya menjadikan kehadiranmu sebagai tambahan energi untuk mengerjakan hidup ini.
Terima kasih sudah hadir di dunia ini, Puisi. Kamu adalah kutukan terindah dalam hidupku.
Prosa
/10/ POESIKU
/10/ Di awal musim kemarau, perempuan itu mengiriminya cabe Meksiko. Merah-merah, menyala. "Ini hasil panenku," kata perempuan itu. Tak tanggung-tanggung, satu karung. "Bagaimana ini bisa dihabiskan?" tanya lelaki itu bingung. "Itu urusanmu," jawab perempuan itu. "Aku tidak menanamnya, kenapa aku yang harus menghabiskannya?" keningnya berkerut. "Itu juga urusanmu," ujarnya tak acuh. Lelaki itu menepuk jidatnya. "Mampus aku," keluhnya.
"Katanya kamu menyukai yang pedas-pedas, kenapa baru berhadapan dengan sekarung cabe saja sudah bingung?" perempuan itu mendelik. "Aku memang menyukai yang pedas-pedas, tapi cabe-cabe ini pasti sudah membusuk sebelum aku bisa menghabiskannya. Sementara, aku juga tak ingin membaginya kepada yang lain. Kamu sudah memberikannya kepadaku, jadi aku tidak akan memberikannya lagi kepada yang lain." Ia mengatakannya sembari membereskan ruang tamunya yang berantakan.
"Kenapa kamu tidak pura-pura saja menerimanya, lalu setelah itu kamu buang. Toh aku juga tak mungkin tahu," perempuan itu memberinya ide. "Kamu baru saja mengatakannya padaku, tentu saja aku tidak akan melakukannya, karena kamu pasti akan mengetahuinya." Lelaki itu menarik karung cabe itu ke tengah rumah, kemudian duduk di kursi.
"Aku punya ide bagaimana agar cabe-cabe ini bisa habis tanpa harus terbuang dan diberikan kepada orang lain," ujarnya sesaat kemudian. "Apa?" perempuan itu masih merengut. Raut muka masam itu sepertinya sudah bawaan sejak lahirnya, gerutu lelaki itu, dalam benaknya. "Menikahlah denganku," kata si lelaki. Perempuan itu tersedak. "Menikahlah denganku, lalu kita bikin kenduri dengan melibatkan cabe-cabe ini sebagai menu bersantap. Lebih dari separuhnya pasti akan habis. Sisanya bisa kita bikin sambal dan bumbu untuk seminggu. Pasti ludas. Tak terbuang. Tak harus dikasih ke orang. Dan yang paling penting, kita bisa menikmati cabe-cabe ini tanpa sebuah keterpaksaan." Lelaki itu mengatakannya dengan mantap. "Kalau dihabiskan sendiri, cabe-cabe ini bisa membuat sakit perut. Tapi kalau dihabiskan bersama, melalui sebuah kenduri, setiap bijinya akan kita kenangkan sebagai kelezatan," ujarnya, sembari mulai membuka karung.
"Ah, kau..." perempuan itu melempar mukanya. Angin menerobos dari daun jendela yang terbuka. Hari itu matahari bersinar sangat terik. #poesiku
AH, KAU...
Kau bilang mencintai hujan, tapi kau memakai payung ketika ia jatuh. Kau bilang mencintai angin, tapi kau menutup jendela ketika ia bertandang. Kau bilang mencintai bulan, tapi kau tidur ketika ia muncul. Kau bilang mencintai mentari, tapi kau berteduh ketika ia menyengat.
Kau bilang mencintai air, tapi takut kebasahan. Kau bilang mencintai api, tapi takut kebakaran.
Kau bilang mengharapkan pagi, tapi jika ia datang kau selalu bergegas
pergi. Kau bilang merindukan petang, tapi jika ia muncul kau selalu terburu pulang.
Ah, kau ini bagaimana...
Yogyakarta, 9 Mei 2014
Ah, kau ini bagaimana...
Yogyakarta, 9 Mei 2014
Kamis, 08 Mei 2014
SURAT UNTUK NUN
Sudah seminggu aku
menghabiskan pucuk malam di kedai ini. Kedai dengan dinding krem dan
lampu-lampu sendu dalam kotak anyaman bambu. Di tempat ini, aku seperti
memiliki diriku sendiri. Tak ada buku yang minta disentuh, tempelan memo
yang mengingatkan pada pekerjaan, atau koran-koran dengan kepala berita
memuakkan yang minta diperhatikan, seperti kalau aku ada di rumah. Aku
bisa duduk di kedai ini berjam-jam. Tiga potong puisi yang kutulis
untukmu beberapa hari ini lahir di sini, di kursi pojok dekat pot berisi
palem kuning yang menjulang. Kita pernah bercakap di pojokan itu.
Entahlah. Mungkin kamu tak mengingatnya lagi. Itu sudah lama sekali.
Aku
sengaja menyendiri di kedai ini untuk mengumpulkan lagi ingatan
tentangmu. Sejak kamu pergi dua puluh lima tahun lalu, hidupku menjadi
limbung. Aku membiarkan diriku tertiup angin kesana kemari, seperti
perahu kertas yang ringkih. Tak ada lagi kapten kapal yang ingin
menjangkau berbagai ufuk kemungkinan. Tanah-tanah tak bertuan, seperti
yang kau tulis dalam bukumu tempo hari, Terra Incognita, turut
pergi bersamamu, tak menyisakan secuilpun imajinasi. Sejak itu aku tak
berlayar kemanapun. Jangkarku dilabuhkan di halaman, bersama sejumlah
pot Euphorbia dan Monstera. Setiap petang aku menyirami pot-pot itu,
yang selalu akan membuatku jadi merasa seperti tanaman-tanaman itu. Ya,
aku seperti tanaman di dalam pot-pot itu. Aku memiliki akar, tapi akarku
tak pernah benar-benar menyentuh tanah. Dan, meski akarku tak pernah
menghujam tanah, aku toh tak punya kaki yang bisa membawaku pergi.
Satu-satunya
hal yang membuatku merasa hidup adalah bau Lili di samping pohon Bodhi
di belakang rumah. Itu mengingatkanku pada bau parfumu. Aku menyambung
hidup dengan ingatan itu. Puisiku banyak lahir di meja lusuh tempat aku
terakhir membacakanmu sajak Chairil. Mungkin benar kata Skacel. Penyair
sebenarnya tak pernah benar-benar menciptakan puisi, karena sesungguhnya
puisi ada di balik dunia. Ia tak pernah pergi, melainkan selalu di
sana. Penyair hanya menemukannya. Sebagai puisi, aku selalu menemukan
bau parfumu di samping pohon Bodhi itu. Bau yang masih bisa menuntunku
untuk menulis dan berpikir. Betapa menyedihkannya. Aku kini hanya bisa
mengembara di air kata-kata.
Namun semenjak gempa pagi
itu merobohkan rumahku, pohon Bodhi itu tak lagi di sana. Dan Lili itu
telah mati setelah beberapa hari ditinggal mengungsi. Pupus sudah semua
kenangan tentangmu. Aku selalu mencoba mengais kenangan itu di kedai
ini, sebelum kemudian memutuskan pergi dari kota ini, kota yang telah
mempertemukanku denganmu.
Aku
memang harus pergi, Nun. Anak-anak harus dibesarkan dengan kewarasan
yang jejag. Dan aku tak sanggup membesarkan mereka dengan ingatan yang
terlalu kuat tentangmu. Mereka butuh diperhatikan juga. Betapa
keparatnya memang situasi macam itu. Jika hal buruk berhadapan dengan
hal baik, mudah sekali bagi kita untuk memilih. Namun, jika dua hal yang
sama-sama kita inginkan kemudian jadi saling berhadapan, aku hanya bisa
mengumpat: keparat sekali hidup ini!
Kami harus pergi, Nun. Kami harus menjauh darimu.
Meninggalkan
kota ini memang menguras perasaan. Aku harus meringkuk selama sepuluh
hari di rumah sakit persis setelah menginjakkan kaki di rumah baru. Itu
seperti menjadi momen kehilanganku yang ketiga kali. Kenapa aku harus
kehilanganmu sebanyak itu, Nun?
Anak-anak tumbuh dengan
luar biasa. Hanya pada raut muka bahagia mereka aku turut merasa
bahagia. Dalam kenyataannya, aku memang tak lagi sanggup menciptakan
kebahagiaan untuk diriku sendiri. Bagian paling buruknya, kadang aku
berpikir penderitaan ini tak sekadar “hidup”, tapi “ada”, seperti yang
diceritakan Milan Kundera dalam salah satu novelnya. Hal-hal buruk dalam
hidup akan kita tinggalkan jika kita mati. Namun, hal-hal buruk yang
meng-ada, akan terus-menerus ada bahkan setelah kita mati. Bagaimana
jika setelah mati, aku juga tak ketemu lagi denganmu, Nun?
Melupakanmu
aku tak sanggup. Aku hanya mencoba berdiet ingatan. Sedikit demi
sedikit porsi ingatan terhadapmu kukurangi. Dan sepertinya itu berjalan
sangat lambat. Lima tahun pertama aku masih saja mengigaukan namamu. Itu
sebabnya aku tak pernah bisa tidur dengan anak-anak. Setelah mereka
tidur, aku akan menyelinap ke sofa, menghidupkan radio, dan membaca
buku-buku yang telah kususun untuk dibaca di malam hari. Nun, aku tak
pernah bisa berhenti mencintaimu.
Setelah
lebih dari lima tahun, aku baru benar-benar bisa meletakkanmu di laci
ingatan. Aku menyimpanmu setiap pagi hingga petang. Jika malam telah
jauh beranjak, ketika anak-anak telah lelap, sebelum tidur aku akan
kembali mengenangkanmu. Itu akan menjadi saat-saat paling indah dalam
hariku, Nun.
Anak-anak bersekolah sesuai keinginan dan
kemampuan mereka. Seperti yang pernah kamu ramalkan dulu, bahwa Palung
akan tumbuh menjadi seorang sarjana atau seniman, kenyataannya memang
begitu. Ia telah mempublikasikan lebih banyak tulisan daripada waktu aku
masih seumuran dengannya. Dan dia bisa bermain gitar, keterampilan yang
selalu ingin tapi tak pernah kukuasai. Jika bertemu dengannya, ia
adalah anak muda yang memikat kini. Aku bangga menjadi ayahnya. Demikian
juga Lily. Ia memilih belajar musik. Aku tak terlalu mengerti dengan
bidang yang ditekuninya. Tapi aku tahu, dia kadang tahu terlalu banyak
daripada guru-gurunya. Melihatnya, aku seperti melihat bayang-bayang
dirimu. Dia adalah anak perempuan yang mandiri, tapi tak pernah
kehilangan selera humornya. Persis dirimu yang kuingat dulu.
Nun, apakah selama ini kamu pernah mengingatku?
Aku
kembali lagi ke kota ini karena desakan Palung, Nun. Dia memintaku
kembali ke kota yang telah mempertemukanku denganmu ini. Dia bercerita,
semenjak kecil dia sebenarnya sudah tahu jika aku tak bahagia di kota
tempat tinggal kami yang baru. Tapi sebagai anak kecil dia hanya bisa
merasakannya, tak tahu bagaimana mengutarakannya kepadaku, atau tak tahu
bagaimana membuatku merasa lebih baik terkait soal itu. Aku hanya
tersenyum mendengar pengakuannya. Sepertinya, aku tak berbakat untuk
bersembunyi dengan rapi, terkait apapun. Namun, aku selalu berusaha
untuk menepis kekhawatirannya. Bagaimanapun, dia dan Lily lebih
membutuhkan perhatianku daripada sebaliknya.
Ketika
dia sudah beranjak agak dewasa, aku baru mulai bisa mengajaknya
bercerita agak jauh. Seperti kuduga, dia sudah tahu cukup banyak
mengenai apa yang ingin kuceritakan. Aku terharu. Anak-anak ternyata
sangat memperhatikanku, Nun.
Petang itu, pada hari
ketika Palung menyelesaikan tentamen terakhirnya, aku mengajaknya
berbicara. Dan aku terkejut ketika mendapati bahwa ternyata dia tidak
terkejut.
Dengan tenang dia memegang bahuku, seperti aku ini adalah kawannya saja.
“Ayah harus segera kembali ke kota itu. Aku juga selalu merindukan kota itu. Dan apalagi Ayah.” Dia kemudian memelukku.
“Aku
sudah membaca semua catatan pribadi Ayah. Maafkan aku. Kadang aku
membuka laci dan arsip-arsip Ayah jika sedang bosan membaca. Sejak SMA,
aku sudah membaca catatan-catatan itu. Pada mulanya aku terkejut. Ayah
telah memendam semua persoalan itu sendirian. Aku merasa bersalah tidak
sangat serius memikirkan soal itu sebelum ini. Maafkan aku jika selama
ini aku telah mengabaikan Ayah.” Ia memelukku erat, Nun. Dia sudah
besar memang.
“Aku
mencintai Ayah, sama seperti aku mencintai ibu. Aku selalu bangga
menjadi anak Ayah dan ibu. Apa yang telah Ayah alami itu sesuatu yang
sulit dan rumit. Aku butuh waktu untuk memikirannya. Pada tahun-tahun
sebelum aku lulus SMA, aku sebenarnya sangat menginginkan agar Ayah bisa
segera kembali ke kota itu. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus
diriku, dan sudah cukup paham mengenai apa yang Ayah alami. Sungguh, aku
ingin mengatakan hal itu pada Ayah.” Aku merasakan punggungku basah.
“Namun,
itu ternyata bukan puncak kesulitan kita, itu bukan pucuk kesulitannya
Ayah. Kita masih mendaki pucuk yang lebih tinggi lagi. Vonis itu
mengagetkan kita semua. Bagiku, itu hal terburuk yang pernah kualami.
Ibu harus menjalani perawatan yang menguras perhatian dan melelahkan
setelah itu. Dan aku melihat Ayah tak kehilangan kesungguhan untuk
menjalani itu semua. Terus merawat kami, aku, Lily, dan ibu. Itu contoh
kasih yang sangat mengoyak. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada
menyaksikan semua itu, Yah, kesakitan di balik kesakitan.” Pipiku pun
mulai basah.
“Itu lima tahun yang sulit. Dan aku
berterima kasih Ayah tetap bersama kami.” Akupun membiarkan diriku
hanyut. Aku memeluk anakku erat-erat.
“Aku kini sudah
jauh lebih dewasa dari hari itu. Dan aku sangat paham dengan perasaan
Ayah. Lily juga sudah tahu. Aku memberitahunya lima bulan lalu, tak lama
setelah kita melepas ibu ke tempat peristirahatannya. Dia juga paham
dan punya pikiran yang sama denganku. Dia nanti malah ingin bekerja di
kota itu.”
Aku menatap mata anakku, Nun. Mereka kini
bukan kanak-kanak lagi ternyata. Dan aku kini tak muda lagi. Namun,
perasaanku padamu terus kujaga untuk selalu tetap berseri, Nun. Malu
sebenarnya aku menuliskannya. Tapi demikianlah adanya. Dengan diantar
Palung dan Lily, aku berangkat ke kota ini dua minggu lalu. Sementara
ini, aku tinggal di wisma di pinggir kota. Tentu aku sudah memikirkan
akan membeli rumah kembali di sini, apalagi nanti Lily ingin bekerja di
kota ini.
Selama itu, sengaja aku tidak menghubungimu,
karena dua minggu yang lalu aku sama sekali memang tak tahu kondisimu.
Tanpa bermaksud jahat, atau berpikiran jahat, aku bahagia sekali
mengetahui bahwa kini pun kamu sudah sendiri, Nun. Dan tak ada yang
lebih membahagiakanku daripada kamu masih mengingatku. Aku bahagia,
paling tidak kita masih bisa ketemu sebelum masing-masing kita memiliki
cucu. Ah, kita belum setua itu.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah dua
pertemuan kita kemarin. Semoga kita dikaruniai kesehatan dan umur
panjang untuk mengetahui apa yang akan terjadi esok pagi.
Sejak
berpisah denganmu dua puluh lima tahun lalu, aku tak pernah bisa
berhenti mencintaimu. Dan aku ingin terus mencintaimu, Nun. Jangan
biarkan salah paham menyelinap ke halaman rumah kita lagi, setelah ini.
Aku tunggu kamu sarapan pagi di alun-alun besok, seperti kita
menghabiskan pagi terakhir di bulan Sya'ban dua puluh lima tahun lalu.
Karena tak lagi bisa mengayuh sembari memboncengkanmu, aku akan
menjemputmu pakai becak.
Aku mencintaimu, Nun, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan mencintaimu dan anak-anak.
LAM
MIMPI
When
we dream alone
It
just a dream
When
we dream together
It
is the dawn of reality
Karel
kembali dicekik mimpi itu. Marketa. Sudah berkali-kali mimpi itu
berulang. Marketa pergi naik mobil meninggalkannya. Tapi dia terus
saja menengok ke arahnya, yang hanya bisa berdiri mematung di tepi jalan. Matanya seperti menyemprotkan sinar berat. Dan Karel harus berpikir
berkali-kali untuk memberi simpulan. Ketika dia harus berpikir, maka
dia akan terbangun. Dan mimpi itu selalu sampai di sana.
Karel
ingin menceritakan mimpi itu pada Marketa. Tapi kini mereka telah
berjauhan. Marketa tinggal di kota lain. Dan dia tinggal di kota yang
lain lagi. Kesungkanan lebih besar dari kepenasaran Karel. Mimpi itupun
terus dipendamnya.
Ketika
mereka bertemu di sebuah terminal yang asing, saat ia akan pindah ke
kota lain dan Marketa juga pindah ke kota lain lagi, kesungkanan itu
agak cair. Keterdesakan membuat Karel jadi berani. Karel memberanikan diri menceritakan mimpinya, meski dia pikir Marketa akan menertawakannya. Ia
berpikir Marketa telah hidup dengan lelaki lain dan melupakannya. Dan
Marketa memang tertawa, tapi bukan menertawakannya. Dia tidak pernah
hidup dengan lelaki lain. Mimpi Karel juga persis dengan mimpinya. Mendengar
itu Karel tergelak. Ia teringat nyanyian samba itu. It is the dawn
of reality!
"Aku
sayang kamu Marketa," bisik Karel.
Rabu, 07 Mei 2014
ANDAI IA TAHU
Rio dan Renatha bertemu di lift yang macet. Kenalan. Berpisah. Dan mereka tidak pernah saling memikirkan, kecuali Renatha.
Rio sudah tunangan. Produser televisi itu terlalu mapan untuk berpikir
macam-macam. Sampai ketika Rio bertemu dengan lelaki berkorek api.
Lelaki itu mendongenginya sebuah kisah. Masa lalunya. Lalu
menghadiahinya korek api. Dan Rio tiba-tiba tergila-gila pada intuisinya
akan Renatha.
Intuisi. Coelho menulis bahwa tak perlu ada alasan
untuk mencintai seseorang. Seseorang dicintai karena ia dicintai, tak
perlu ada alasan untuk mencintai. Ketika Rio berterus terang pada
tunangannya, ia dihadiahi sebuah tamparan. Avonturismenya telah
menyinggung perasaan tunangannya. Lalu Rio memilih mengejar Renatha.
Tidak demi masa depannya.
Masa depan, seperti dipercaya Milan
Kundera, adalah kehampaan apatis dari kepentingan bukan siapa-siapa.
Sedangkan masa lalu penuh dengan kehidupan yang selalu mengganggu,
menggusarkan dan menghina kita, membujuk kita untuk menghancurkan atau
memolesnya kembali. Rio memilih yang kedua. Ia ingin memoles masa
lalunya dengan Renatha. Kendati masa lalu itu sekadar pertemuan kecil
dalam lift yang macet.
Tak pernah ada orang kehilangan masa depan, mereka hanya kehilangan masa lalunya.
/9/ POESIKU
/9/ Cintanya
kepada perempuan itu demikian indah, tapi juga melelahkan. Mungkin, karena
sejak pertama kali ia memanggil perempuan itu sebagai “Perempuanku”, ia telah
menempatkan perempuan itu tidak lagi mewakili sejenis kelamin yang berbeda
dengannya, melainkan sebagai sebuah nilai. Dia adalah perempuan bukan karena
dirinya perempuan, melainkan seorang perempuan yang mampu menghadirkan tekanan
tertentu pada keperempuanannya dan terutama kepada diri lelaki itu.
Persoalannya, setiap hal yang melibatkan nilai selalu saja akan menjadi sesuatu
yang rumit. Dan itu melelahkan.
Cinta, bagi
lelaki itu, bukanlah hasrat tentang bersetubuh, melainkan keinginan untuk
berbagi tempat tidur. Setiap lelaki bisa memiliki hasrat kepada semua perempuan,
dalam horison tanpa tapal batas, namun mereka hanya ingin berbagi tempat tidur untuk
seorang perempuan saja. Perempuan itu, bagi lelaki itu, tak lain adalah “Perempuanku”.
Hal yang membuatnya
bertahan dengan cinta yang melelahkan itu adalah kenyataan bahwa setiap orang pada
akhirnya harus bijaksana terhadap ketidakpastian. Seperti halnya lukisan, hidup
kadang menjadi indah karena kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat. Sungguh, tak
ada yang lebih misterius dari “indah karena kesalahan”. Sejak itu, dia belajar
untuk tak lagi membuat kalkulasi-kalkulasi yang muluk untuk hidupnya. Ia ingin
mencintai kerumitan cintanya kepada perempuan itu dengan sederhana. #poesiku
Langganan:
Postingan (Atom)