Rabu, 17 September 2014
#NUNPOEM 01
Kopi yang puitik harus diseduh dengan perasaan yang tak terlalu mendidih, Nun. Jika terasa pahit, tambahkanlah dua sendok kebijaksanaan. Hidangkanlah segera ketika aroma kasih sayangnya masih mengepul. Sebab, kopi yang dingin tak lagi menarik. #nunpoem
/13/ POESIKU
/13/ "Aku memikirkan omonganku kemarin," perempuan itu membuka percakapan. Hari itu matahari bersinar terik sekali.
"Soal?" tanya lelaki di sampingnya. Mereka duduk di tepi danau kecil. Pohon-pohon rindang melindungi keduanya dari terik siang itu.
"Soal bahwa kamu adalah pohon besar dan rindang bagiku." Ia mengatakannya sembari melempar beberapa batu kecil ke tengah danau.
"Itu membuatku selalu mengetahui bahwa selalu ada tempat yang teduh untukku. Dan kenyataannya, aku selalu kembali kepadamu."
Dua ekor tupai berlairan di sebuah dahan. Sepertinya asyik sekali. Lelaki itu tak melepaskan pandangannya pada dua tupai itu.
"Tapi aku juga heran," lanjut perempuan itu, "kenapa kita selalu saja ketemu persoalan yang akan membuat percakapan-percakapan ini datang dan pergi berkali-kali, dalam jeda yang tak tentu, yang kamu sebut sebagai perpisahan-perpisahan itu?!"
Lelaki itu menatap perempuan di sampingnya. "Sepertinya aku tahu kenapa," jawabnya.
"Kenapa?"
"Karena aku terlalu mencintaimu."
"Apa hubungannya?"
"Karena aku terlalu mencintaimu, maka Tuhan jadi cemburu. Makanya Ia berkali-kali berusaha menggagalkan hubungan kita," lelaki itu mengatakannya sembari terkekeh.
"Ah, kau..." perempuan itu tersipu. "Makanya, mbok biasa saja kau mencintaikunya," terusnya manja.
"Aku bahkan punya pilihan yang lebih baik."
"Apa?"
"Tadi malam aku sudah memutuskan. Agar Tuhan tak lagi cemburu, maka aku ingin berhenti mencintaimu." Lelaki itu kini terbahak.
Perempuan itu memberinya sebuah tinju di pundak. Kini giliran dua ekor tupai di atas dahan yang menonton dua orang itu. Hening. Hanya suara dedaunan bergesekan ditiup angin. #poesiku
/12/ POESIKU
/12/ "Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.
"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.
"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."
Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.
"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.
Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.
Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan rak-rak buku nampak berdebu.
"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.
Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.
"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.
Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung lesehan.
Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian terdiam.
"Aku tidak pernah bisa mengingat perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang rindang." Perempuan itu menarik napas.
"Kemanapun aku pergi, atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu. Termasuk setahun terakhir kemarin."
Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.
"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya. Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."
Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.
Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara. Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan, perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya ke dalam tas lelaki di depannya.
Hingga ketika mereka sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap perempuan itu dengan seksama.
Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.
"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum. Hari merambat malam. #poesiku
Sabtu, 30 Agustus 2014
JANJI DAUN
seperti dedaunan
hidup tumbuh berguguran
patuh pada cinta
dan duka yang bertukaran
namun, pada ranting ditinggalkan
ada janji daun
tentang kematian yang menghidupkan
mereinkarnasi kesuburan
pada daun yang gugur
ranting hanya bisa tertunduk
dengan kepedihan yang rimbun
menunggu janji daun
Yogyakarta, 30 Agustus 2014—mengenang guru pohon, profesor suhardi
Rabu, 23 Juli 2014
ALASAN HUJAN
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal awan hitam
dan angin yang membetot dedaunan
Ia hanya bisa terkapar
di tengah aspal dan trotoar jalan
tak sanggup menggapai selokan
apalagi lautan
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal guruh yang menggeram
dan petir yang mengancam
Ia hanya bisa menggenang
di pojok halaman basah
tak sanggup menyusup tanah
apalagi menyantuni akar
Hujan ini telah mati di jalan, Nun...
Yogya, 23 Juli 2014
Senin, 21 Juli 2014
SEDEKAH
"Cintaku adalah sedekah, kamu tidak harus membalasnya," kalimat tatag itu meluncur dari mulut lelaki itu. Senyumnya teduh, tak lagi penuh gairah seperti sebelumnya. Perempuan di depannya menatap tajam. "Apa yang kamu lakukan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku melakukan semua yang kuucapkan. Termasuk yang barusan kamu dengar," jawab lelaki itu mantap. Perempuan itu terdiam sejenak. "Apa yang kamu harapkan dari semua ini?" tanyanya kemudian. "Seperti semua sedekah, saya hanya ingin memberikannya, yang dalam hal ini hanya akan saya berikan padamu saja, dan tidak berharap balasan apa-apa, dari apapun, atau siapapun, termasuk darimu." Lelaki itu mengucapkannya sembari tersenyum. Nada kalimatnya pasti. Sepertinya dia tahu betul apa yang diucapkannya.
"Apa kamu yakin?" perempuan itu seperti tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. Tangan kanannya ia tempelkan di dada. "Dengan sepenuh hati."
"Tapi untuk apa kamu melakukan semua ini?" perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Ia seperti ingin mencari sesuatu yang diluputkannya.
"Kenapa kamu seperti keberatan, padahal aku kini tak lagi mengharapkan apapun darimu?" kali ini lelaki itu yang balik bertanya.
"Kauuuu..." perempuan itu setengah berteriak. Ketika sadar bahwa pengunjung lain menengok kepadanya, ia menundukkan kepala.
"Kenapa kamu mengubahnya menjadi sedekah?" tanya perempuan itu lirih, setelah amarahnya reda.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia tak menyangka reaksi perempuan itu, yang biasanya tenang jika di depannya. "Cintaku adalah sedekah, karena tak ada yang mengharuskan aku mencintaimu. Jika ada yang mengharuskannya, namanya mungkin 'zakat cinta', bukan lagi 'sedekah'," lelaki itu mengucapkannya sembari terkekeh.
"Kalau kamu menjawab seperti itu, aku bisa melempar asbak ini padamu," perempuan di depannya kembali memasang muka marah.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu darimana cinta ini datang. Aku tidak pernah mengundangnya, atau memintanya. Aku hanya tiba-tiba memilikinya, dan aku ingin memberikannya kepadamu, karena aku memang sungguh-sungguh mencintaimu." Lelaki itu mengakhirinya dengan sebuah desahan. "Tapi kamu tidak pernah menghiraukannya."
"Kamu kan tahu sendiri situasiku sebelum ini?" perempuan itu menjawab dengan nada tinggi.
"Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa aku tak pernah tahu hingga kapan kamu akan mengurung diri dalam situasi itu." Lelaki itu menarik badannya ke belakang, seperti ingin melemaskan sesuatu. "Jadi, aku ingin bersedekah saja kini."
"Kamuu..." perempuan itu melemparkan sepotong batu es kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu terhenyak. "Kenapa kamu marah padaku? Bukankah mestinya kamu senang? Kamu tidak pernah kehilangan cintaku, tapi kini kamu tak lagi harus membalasnya. Bukankah kamu sangat beruntung?" kali ini lelaki itu meninggikan suaranya.
Perempuan itu mengepalkan lengannya. Dia seperti ingin memukul lelaki di depannya. Sepertinya dia marah sekali. Mukanya merah. "Kamu tega sekali mengatakan itu."
"Kenapa memang?"
"Kamuuuu...."
Lelaki itu diam. Dia mencoba memahami perempuan di depannya. Agak lama keduanya terdiam.
"Kamu kini tahu kan bagaimana rasanya tak lagi diharapkan, meskipun oleh orang yang masih mencintaimu," lelaki itu angkat bicara. Dia mencoba membaca pikiran perempuan itu. "Mestinya kamu juga bisa membayangkan bagaimana rasanya tak diharapkan oleh orang yang telah kau santuni dengan kasih."
"Jadi kamu ingin membalasku?" perempuan itu setengah berteriak.
"Bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan aku tak pernah berhenti mencintaimu?" lelaki itu juga setengah berteriak. Keduanya tak lagi peduli dengan sekitarnya.
"Berhenti! Cukup!" Perempuan itu mulai berurai air mata. Keduanya kini tertunduk.
Setelah beberapa saat, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya. "Kamu tahu, tentu saja aku lebih suka jika kamu bisa membalas cintaku. Tapi kamu tak pernah melakukannya. Jadi, aku kemudian berpikir untuk menyedekahkannya saja padamu. Itu kulakukan semata untuk mengurangi luka." Mata lelaki itu nanar.
Perempuan itu menghapus air matanya. Ia menatap lelaki di depannya. Tangannya kini balik menggenggam tangan lelaki itu. "Berhentilah saling menyakiti," pintanya. Dia menatap mata lelaki itu. "Kamu tahu, akupun sebenarnya..." perempuan itu tak meneruskan ucapannya. Telunjuk lelaki itu menempel di bibirnya.
"Aku tahu," balas lelaki itu. "Aku kini mengetahuinya."
Dedaunan berguguran di luar jendela. Musim hujan memang segera datang.
Jumat, 18 Juli 2014
REINKARNASI
hidup ini seperti dedaunan gugur
ia bereinkarnasi pada tanah yang gembur
di basah hujan, darma ditunaikan
kembali, berulang-ulang
kita mungkin kembali hidup
pada satu dahan, seperti sebelum ini
saling bergesekan,
berbagi embun pagi
duh gusti...
tapi darma kemudian
mungkin melibatkan hukuman
kamu tumbuh di dahan ini,
sementara aku di pohon sana
kita hanya bisa bersitatap dari kejauhan
sesekali bertukar pesan
melalui kupu-kupu yang hinggap
atau lebah yang singgah
karena sebelum mengering
kita jadi saling mendiamkan
itu sebabnya, aku tak pernah berhenti
menuliskan pesan ini
aku ingin tumbuh dan melapuk bersamamu
nuunn...
Yogyakarta, 18 Juli 2014
Langganan:
Postingan (Atom)