Kamis, 15 Mei 2014

KUPU-KUPU BULAKSUMUR


di rumah tua itu kita bertemu
dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu
kau ceraikan rambutmu
seperti merak indah merayu

aku tidak tahu, kaukah itu mutiara atau kupu-kupu
mutiara bersolek di balik cangkangnya yang keras
kupu-kupu berdandan di balik kepompongnya yang lembut
jika kau mutiara, asal kau tahu
aku hanya bisa menyelami air kata-kata
tak bisa menjemputmu ke dasar laut

tapi jika kau kupu-kupu,
aku bisa menanti ulat yang jahat
mendandani dirinya di balik kepompong, sepanjang hayat
kaukah itu, kupu-kupuku?

di rumah tua itu kita bertemu
dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu
setelah bertahun-tahun,
aku masih berharap kau adalah kupu-kupu
kaukah itu?

Bulaksumur B-2, 14 Mei 2014  19.11 WIB

Selasa, 13 Mei 2014

DERMAGA


Kau menyandar di punggungku, malam itu. Mukamu letih, punggungmu bungkuk. Bahu ini adalah dermagamu, yang telah menyaksikanmu datang dan pergi. Angin barat selalu membawamu menjauh, angin timur selalu membawamu kembali. Tapi bahu ini selalu di sini, menantimu.

Menyaksikanmu datang dan pergi, aku seperti membaca Terra Nostra. Sepertinya, memang dibutuhkan beberapa kehidupan untuk menyusun kehidupan pribadi seseorang. Dan seperti halnya Fuentes atau Mann mengakhiri novel-novelnya, baru pada fragmen akhir setiap orang akan menemukan bahwa masa lalu adalah sebuah keseluruhan dengan segenap kejernihannya.

Kepergianmu selalu menyisakan tangis kecil. Tapi kamu tak pernah tahu, karena suara ombak dan burung camar selalu menyamarkannya. Toh kamu akan kembali bersama angin timur bukan?

Bilakah angin tak berganti musim? Bilakah angin tak mengaturmu datang dan pergi? Bilakah kau tinggal seterusnya?


Bahu ini selalu di sini, menantimu melepas penat.

Senin, 12 Mei 2014

STASIUN


—untuk Ismail Marzuki

Kita segera tiba di stasiun terakhir
padahal aku tak ingin ini segera berakhir
Kau belum juga meminta namaku
aku masih sungkan meminta namamu
Kita hanya berbagi pandang
sejak kereta ini datang kemarin petang
Ah, aku tak mau ini berakhir di Gambir
seperti pertemuan kita yang terakhir

Matamu adalah suratan takdirku
telah menyanderaku sejak pertemuan itu
Tapi, Juwita, mengapa engkau banyak berdusta
belum sepatah kata sejak kita berjumpa
padahal, di situmatamu ada banyak tanya
Esok adalah malam Minggu
maukah gerangan engkau padaku?

Di Stasiun Tugu,
kemarin kita sama menunggu
tak ada lelaki mengantarmu
Apakah nanti akan ada yang menjemputmu
sehingga kau masih saja membisu?

Ini adalah kali kedua
Aku tak ingin ini berakhir di Gambir
Jika tak ada yang menjemputmu,
kan kuantarkan kamu pulang
Aku sudah letih bertualang

Yogyakarta, 11 Mei 2014 *Satu Abad Ismail Marzuki

Jumat, 09 Mei 2014

/11/ POESIKU


/11/ "Jika cantik itu pohon, maka kamu adalah hutan," demikian suatu kali ia berbisik kepada perempuan itu. Di bawah sinar bulan yang tak penuh, ia bisa melihat rona merah merekah di pipi perempuannya. 

"Jika aku hutan, kamu jadi apa?" perempuannya bertanya. 

"Aku ingin jadi pengusaha HPH!" 

Perempuannya terbahak. 

"Tapi aku tidak suka bedakmu yang mempur. Itu menyembunyikan kecantikanmu yang asli," ujar lelaki itu serius. "Bagi beberapa orang, bedak bisa membuat mereka terlihat lebih cantik. Tapi untukmu, itu membuatmu jadi terlihat palsu." 

Perempuan itu meninju bahunya. "Setelah membuatku terbang, kamu kini menjatuhkanku," protes perempuannya. 

"Kamu juga sering melakukannya padaku," balas lelaki itu. 

"Jadi ini ceritanya balas dendam nih?" 

Keduanya tertawa bersama. 

Dari balik pucuk cemara, bulan yang tak penuh mengintip malu-malu. Lapangan rumput itu mulai basah oleh embun. #poesiku

SURAT UNTUK PUISI


Puisi, aku berdoa, semoga harimu selalu penuh senyum, agar setiap orang yang berada di dekatmu merasakan sejuknya bermandikan cahaya yang kau pancarkan―seseorang yang tuturnya adalah puisi dan diamnya adalah lukisan.

Aku takkan pernah berhenti menyanjungmu, Puisi, karena setiap yang kukatakan tentangmu bukanlah sanjungan, melainkan sekadar gambar dari apa yang kulihat, dan rasa yang kukudap. Aku percaya, Tuhan telah memberiku mata dan rasa yang benar...

Kadang aku berdoa agar segera dibangunkan dari mimpi ini. Tapi segera kusadar kalau kamu bukanlah mimpi, Puisi. Kamu ada dan memang demikian adanya. Yang bisa kulakukan hanya menjadikan kehadiranmu sebagai tambahan energi untuk mengerjakan hidup ini. 

Terima kasih sudah hadir di dunia ini, Puisi. Kamu adalah kutukan terindah dalam hidupku.


Prosa

/10/ POESIKU



/10/ Di awal musim kemarau, perempuan itu mengiriminya cabe Meksiko. Merah-merah, menyala. "Ini hasil panenku," kata perempuan itu. Tak tanggung-tanggung, satu karung. "Bagaimana ini bisa dihabiskan?" tanya lelaki itu bingung. "Itu urusanmu," jawab perempuan itu. "Aku tidak menanamnya, kenapa aku yang harus menghabiskannya?" keningnya berkerut. "Itu juga urusanmu," ujarnya tak acuh. Lelaki itu menepuk jidatnya. "Mampus aku," keluhnya. 

"Katanya kamu menyukai yang pedas-pedas, kenapa baru berhadapan dengan sekarung cabe saja sudah bingung?" perempuan itu mendelik. "Aku memang menyukai yang pedas-pedas, tapi cabe-cabe ini pasti sudah membusuk sebelum aku bisa menghabiskannya. Sementara, aku juga tak ingin membaginya kepada yang lain. Kamu sudah memberikannya kepadaku, jadi aku tidak akan memberikannya lagi kepada yang lain." Ia mengatakannya sembari membereskan ruang tamunya yang berantakan. 

"Kenapa kamu tidak pura-pura saja menerimanya, lalu setelah itu kamu buang. Toh aku juga tak mungkin tahu," perempuan itu memberinya ide. "Kamu baru saja mengatakannya padaku, tentu saja aku tidak akan melakukannya, karena kamu pasti akan mengetahuinya." Lelaki itu menarik karung cabe itu ke tengah rumah, kemudian duduk di kursi. 

"Aku punya ide bagaimana agar cabe-cabe ini bisa habis tanpa harus terbuang dan diberikan kepada orang lain," ujarnya sesaat kemudian. "Apa?" perempuan itu masih merengut. Raut muka masam itu sepertinya sudah bawaan sejak lahirnya, gerutu lelaki itu, dalam benaknya. "Menikahlah denganku," kata si lelaki. Perempuan itu tersedak. "Menikahlah denganku, lalu kita bikin kenduri dengan melibatkan cabe-cabe ini sebagai menu bersantap. Lebih dari separuhnya pasti akan habis. Sisanya bisa kita bikin sambal dan bumbu untuk seminggu. Pasti ludas. Tak terbuang. Tak harus dikasih ke orang. Dan yang paling penting, kita bisa menikmati cabe-cabe ini tanpa sebuah keterpaksaan." Lelaki itu mengatakannya dengan mantap. "Kalau dihabiskan sendiri, cabe-cabe ini bisa membuat sakit perut. Tapi kalau dihabiskan bersama, melalui sebuah kenduri, setiap bijinya akan kita kenangkan sebagai kelezatan," ujarnya, sembari mulai membuka karung. 

"Ah, kau..." perempuan itu melempar mukanya. Angin menerobos dari daun jendela yang terbuka. Hari itu matahari bersinar sangat terik. #poesiku

AH, KAU...


Kau bilang mencintai hujan, tapi kau memakai payung ketika ia jatuh. Kau bilang mencintai angin, tapi kau menutup jendela ketika ia bertandang. Kau bilang mencintai bulan, tapi kau tidur ketika ia muncul. Kau bilang mencintai mentari, tapi kau berteduh ketika ia menyengat. 

Kau bilang mencintai air, tapi takut kebasahan. Kau bilang mencintai api, tapi takut kebakaran.

Kau bilang mengharapkan pagi, tapi jika ia datang kau selalu bergegas pergi. Kau bilang merindukan petang, tapi jika ia muncul kau selalu terburu pulang.

Ah, kau ini bagaimana...


Yogyakarta, 9 Mei 2014